Aroma hujan. Aku menikmati gerimis
ketiga yang jatuh membasahi kotaku. Kubenamkan wajahku di antara kedua tanganku
sambil bersandar di tembok setinggi dada yang membatasi tubuhku di lantai 2
gedung ini, dengan pemandangan syahdu di hadapanku. Tanah yang mulai basah
jarang-jarang. Dedaunan yang bergoyang-goyang tanggung disapa rintikan air. Dan
yang paling aku suka, aroma tanah yang selalu jadi natural fragrance tiap
moment ini hadir. Aroma yang indah bagiku. Bagaimana tidak, dalam ingatanku aku
butuh waktu 6 bulan untuk menunggu sejak hujan terakhir turun untuk dapat
merasakannya lagi. Aroma yang selalu sama di manapun aku berada tiap hujan atau
gerimis hadir. Ketika aku memandang hujan dari atas gedung Aisyah atau Khodijah
di malam hari. Ataupun ketika aku menikmati hujan dari teras rumah lamaku.
Aromanya selalu sama. Dan selalu, ia membuka memoriku tentang kejadian-kejadian
lama yang pernah aku lewati. Yang indah, maupun yang meninggalkan sesuatu yang
mendalam. Hehe, aku tersenyum-senyum sendiri sambil memandangi butiran-butiran
halus yang turun di hadapanku. Tiba-tiba aku terpikir, apakah aroma tanah saat
hujan di tempatmu juga sama seperti ini. Apakah Allah menciptakan aroma hujan
yang sama di benuamu. Hehe, lagi-lagi aku memikirkanmu. Sudahlah, Allah pasti
cemburu melihatku begini. Kuangkat kepalaku dari benaman tanganku. Ya Rabb,
maafkan hambaMu. Aku beralih melepaskan tubuhku dari dinding yang kusandari. Berbalik
dan menoleh sesaat ke arah gerimis. Tersenyum tipis, sambil bergumam, sampai
jumpa.